
Oleh : Hasbullah Fudail (Penggiat HAM).
Reportikaindonesia.com // Bandung, Jawa Barat – Eksistensi tempat ibadah secara umum dan masjid secara khusus menjadi terusik ketika Kepala Badan Nasional Penaggulangan Teroris (BNPT) Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar tempat ibadah aktivitasnya di kontrol oleh pemerintah.
Hipotesa yang dibangun dengan usulan itu didasarkan pada asumsi bahwa sebagian besar tempat ibadah menjadi tempat sumburnya pengembangan paham radikalisme.
Paham radikal yang dicirikan dengan mengajarkan kebencian terhadap orang atau keompok lain (intoleran), merasa paling benar dalam berkeyakinan dan beragama (ekslusif) serta tidak mempercayai tatanan yang dibangun negara .
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.
Latar belakang usulan itu bercermin dari banyaknya paham radikalisme berkembang di tempat ibadah (mesjid) sehingga perlu dilakukan kontrol dengan mengambil solusi seperti beberapa negara seperti Malaysia,Singapura, beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Semua aktifitas dakwah di masjid atau tempat ibadah dipantau dan dikontrol oleh negara.
Selain itu, beberpa tahun yang lalu 2017 berdasarkan hasil survey dari Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat(LP3M) dan Rumah Kebangsaan melakukan survey terhadap 100 mesjid di lingkungan Kementerian, Lembaga Negara dan BUMN yang ada di Jakarta. Hasilnya sangat mengejutkan karena 41 mesjid dari 100 yang di survey terindikasi terpapar paham radikal dalam ceramah atau khutbah Jum’at.
Dari 41 mesjid yang terindikasi radikal 17 mesjid berada dalam kategori tinggi, 17 tingkat kategori sedang dan 7 masjid di kategori rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mesjid yang dikelola oleh pemerintah masih rentan oleh paham radikalisme hal ini menunjukkan belum adanya pengawasan dan pengelolaan yang serius oleh pemerintah guna mengawasi seruan agama yang disampaikan di masjid-masjid pemerintah.
Atas usulan dan hasil penelitian ini , apakah Mesjid menjadi sumber yang mengajarkan paham radikalisme dan perlukah tempat ibadah (khususnya mesjid) di kontrol oleh pemerintah sehingga berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)?.
Kebebasan Ibadah sebagai HAM
Bahwa tempat ibadah menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia bagi setiap orang dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Setiap orang atau penduduk di Indonesia dijamin hak asasinya untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaanya. Sebagaimana dalam UUD 1945 pada Pasal 29 ayat 2 yang mengatakan ‘Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Berkenaan dengan penghormatan hak untuk beribadah dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang- Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 yaitu menjamin pemajuan dan penghormatan serta pematuhan HAM dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama.
Negara melarang dan menghapuskan segala bentuk diskriminasi rasial dan menjamin hak- hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal usul etnik atau kebangsaan untuk mendapatkan kesederajatan di hadapan hukum khususnya dalam menikmati hak-hak salah satunya hak atas kebebasan berfikir, beragama, dan berkeyakinan.
Pengejawantahan jaminan kebebasan beragama dan beribadah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang di dalam Pasal 22 mengatur mengenai kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan semangatnya dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Dengan melakukan kontrol terhadap tempat ibadah khusunya mesjid akan berpotensi besar terjadinya pelanggaran HAM dalam menjalankan kebebasan beribadah bagi para pemeluknya.
Usulan Kontrol Tempat Ibadah dari BNPT.
Munculnya usulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar mencegah radikalisme . Sebelumnya, Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar semua tempat ibadah di bawah kontrol pemerintah. Hal itu disampaikan dalam rapat bersama Komisi III DPR pada Senin (4/9/2023).
Atas usulan tersebut berbagai ormas dan kalangan tokoh partai politik menolak wacana tersebut karena di anggap menjadi kemunduran demokrasi. Selain itu menjadi potensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily menentang keras usulan itu lantaran dianggap menyalahi prinsip kebebasan beragama. “Saya menentang keras kontrol negara terhadap semua rumah ibadah di Indonesia. Karena menyalahi prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan,” kata Ace kepada wartawan, Selasa (5/9/2023).
“Usulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia adalah pemikiran yang sesat,” kata Aboe Bakar Al Hasby dari PKS dalam keterangannya, Selasa (5/9/2023). Apalagi menurutnya jika usulan tersebut bertujuan agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. Usulan tersebut dinilai seolah menuduh bahwa tempat ibadah adalah sarang terorisme. “Pasti ini akan menyinggung kalangan umat beragama,” ucapnya
Anwar Abbas Wakil Ketua MUI mengatakan usulan itu bertentangan dengan jiwa semangat dengan Pancasila. Persatuan Gereja Indonesia ( PGI) juga mengeritik Usul BNPT yang Ingin Pemerintah Kontrol Tempat Ibadah.
Mencegah Paham Radikalisme di Tempat Ibadah.
Munculnya berbagai paham radikal yang kebetulan bisa disemai dengan leluasa di tempat ibadah khsusnya mesjid melalui pengajian, ceramah maupun khutbah Jumat karena pengurus mesjid atau jemaahnya tidak terbuka secara umum, ditambah para penceramah atau guru spritualnya juga memang memiliki paham radikal dalam memahami persoalan keagamaan.
Selain itu peran pemerintah dan organisasi keagamaan yang belum optimal dalam melakukan pembinaan terhadap pengurus dan pengelolah tempat ibadah
Untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme di berbagai tempat ibadah maka beberapa hal atau langkah bisa dilakukan antara lain :
- Kolaborasi pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan (MUI,DMI,Ormas keagaamaan)
Berbagai organisasi keagamaan yang jelas status dan alamatnya sebagai kekuatan sipil masyarakat menjadi bagian dari pemerintah untuk berkolaborasi mencegah terjadinya penyebaran radikalisme di tempat – tempat ibadah. Ormas keagamaan seperti MUI, PGI, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) dan lainnya menjadi mitra strategis pemerintah dalam menyebarkan nilai-nilai agama yang sesuai dengan budaya dan nilai-nilai pancasila, - Membuat data base tempat ibadah
Sudah saatnya dibuat data base tempat ibadah secara komprehensif , sehingga berbagai data menyangkut tempat ibadah, fasilitas, program kerjanya, kapasitas atau daya tampung dan lain-lain . Salah satu kelemahan dalam pengelolaan tempat ibadah seperti mesjid saat ini adalah ketiadaan data base yang lengkap dan upto date untuk keperluan berbagai perencanaan program. - Kerjasama Pengurus tempat Ibadah, Pendakwah dan masyarakat.
Tiga elemen utama dari keberadaan tempat ibadah yaitu Pengurus, Jemaah dan Pendakwah. Jika ketinganya bekerjasama dalam visi dan misi keagamaan maka dipastikan dapat menangkal sejak dini paham paham radikal yang akan disusupkan kedalam tempat ibadah. - Tempat ibadah sebagai miniatur membangun kesejahteraan dan keadilan
Tempat ibadah hendaknya menjadi bentuk miniatur bangsa dalam membangun kesejahteraan dan keadilan. Jika para pemimpin dan pengurus tempat ibadah dan agama melakukan hal itu, maka benih benih radikalisme akan susah untuk mendapat dukungan dari tempat ibadah aupun jemaahnya.
Tempat ibadah hendaknya menjadi bagian dari bangsa ini untuk penyelesaian masalah (problem solving) yang dihadapi ummat baik itu persoalan ekonomi, sosial budaya, kemasyarakatan sehingga membawah Rahmatan Lil Alamin ( Rahmat bagi alam semesta). Tidak sebaliknya, menjadi lahan pengembangan paham paham radikal yang mendorong terjadinya perpecahan umat dan bangsa.
Editor: Fhat