
Reportikaindonesia.com // Bandung, Jawa Barat – 17 Januari 2025. Rencana pemerintah memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana menjadi topik hangat dalam diskusi yang melibatkan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung dan Universitas Brawijaya yang sedang Magang di Bidang HAM Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat.
Diskusi bertajuk “Amnesti dalam Perspektif Hak Asasi Manusia: Solusi atau Tantangan?” ini menghadirkan Hasbullah Fudail selaku Kepala Bidang HAM Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, sebagai narasumber utama.
Acara yang berlangsung interaktif ini berfokus pada pembahasan aspek keadilan, transparansi, dan dampak sosial dari kebijakan amnesti tersebut. Para mahasiswa dengan antusias menyampaikan pertanyaan dan pandangan kritis mereka terkait langkah pemerintah dalam menangani masalah overkapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Kania, mahasiswa UIN Bandung, membuka diskusi dengan menyoroti pentingnya transparansi dalam pemberian amnesti. “Bagaimana pemerintah memastikan proses ini dilakukan secara adil dan transparan? Apakah ada parameter khusus untuk menilai niat seseorang agar tidak mengulangi kejahatan?” tanyanya.
Hasbullah menjelaskan bahwa proses amnesti dilakukan dengan melibatkan tim yang terdiri dari psikolog, kriminolog, dan aparat hukum. “Tim ini bertugas menilai kesiapan narapidana untuk berintegrasi kembali ke masyarakat. Transparansi adalah kunci agar kebijakan ini berjalan adil,” jelasnya.
Shafira, mahasiswa UIN Bandung, mempertanyakan akar masalah over kapasitas di Lapas dan Rutan. “Apakah kurangnya kesadaran hukum masyarakat menjadi penyebab utama? Jika hukuman tidak memberikan efek jera, bagaimana mencegah narapidana yang sengaja ingin kembali ke penjara karena alasan tertentu?” tanyanya.
Menanggapi hal ini, Hasbullah menjelaskan bahwa overkapasitas disebabkan oleh pendekatan hukum yang terlalu fokus pada pemenjaraan. “Pemenjaraan sering diterapkan bahkan untuk pelanggaran ringan. Padahal, pendekatan alternatif seperti rehabilitasi dan kerja sosial bisa menjadi solusi yang lebih efektif,” ujarnya.
Rasti, mahasiswa UIN Bandung, mempertanyakan mengapa pengguna narkotika masih sering dipenjara. “Mengapa pengguna narkotika harus dipenjara bertahun-tahun, padahal mereka lebih membutuhkan rehabilitasi?” tanyanya.

Hasbullah menegaskan bahwa pengguna narkotika seharusnya diperlakukan sebagai korban yang membutuhkan pemulihan, bukan hukuman. “Kebijakan amnesti ini adalah langkah awal untuk menggeser paradigma penanganan kasus narkotika ke arah yang lebih humanis,” katanya.
Sulfia, mahasiswa UIN Bandung, mengajukan pertanyaan terkait penghargaan bagi aparat hukum. “Apakah polisi akan diberikan reward atau penghargaan saat berhasil menangani atau menangkap pelaku dalam suatu kasus yang terkait dengan kebijakan amnesti?” tanyanya.
Hasbullah menjelaskan bahwa penghargaan lebih difokuskan pada kontribusi aparat dalam menciptakan sistem hukum yang humanis. “Penghargaan diberikan terutama atas keberhasilan mereka dalam mendukung rehabilitasi dan pengawasan terhadap narapidana yang dibebaskan, bukan semata-mata pada keberhasilan dalam menangkap pelaku kasus,” jelasnya.
Syalifia, mahasiswa UIN Bandung, menutup diskusi dengan mengangkat isu stigma sosial terhadap mantan narapidana. “Masyarakat sering memandang buruk mantan narapidana. Dengan adanya kebijakan amnesti, apa langkah konkret pemerintah untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap mereka?” tanyanya.
Hasbullah menegaskan pentingnya program reintegrasi sosial untuk mendukung mantan narapidana dengan mengadakan kampanye edukasi publik untuk mengurangi stigma dan membangun kepercayaan masyarakat,” jelasnya.
Pemerintah melalui Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai, sebelum para narapidana mendapatkan amnesti maka harus diberikan pendidikan atau pelatihan terkait dengan nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, perdamaian, supaya yang paling penting ‘kan perubahan mindset. Mindset kriminal (diubah menjadi) mindset human,”. Pendidikan HAM bagi narapidana yang akan diberi amnesti itu termasuk salah satu fokus Kementerian HAM untuk tahun 2025.

Selanjutnya, terdapat pertanyaan menarik dari Arief, mahasiswa Unibra Malang, mengenai implementasi amnesti kepada 44.000 narapidana di Indonesia dapat berjalan efektif dan sesuai dalam menyasar parameter narapidana yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mendapatkan amnesti sehingga program tersebut tidak menjadi ladang bisnis bagi pihak yang berwenang untuk melakukan seleksi terhadap narapidana di Indonesia. Dalam hal ini, Hisbullah menanggapi: “Diperlukan elemen-elemen dari pemangku pemerintahan sesuai kewenangannya yang saling bersinergi untuk dapat mengsukseskan pemberian amnesti ini dapat berjalan efektif dan sesuai dengan tujuannya yang mulia demi Indonesia kedepannya.”
Lutfi, mahasiswa Unibra Malang, menanggapi dalam mengatasi permasalahan terkait over capacity pada Rutan dan Lapas tidak hanya pemberian amnesti saja, akan tetapi perlu diperhatikan pembenahan kepada aparat negara dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena banyak terpidana yang tidak seharusnya menjadi terpidana sehingga menimbulkan over capacity yang seharusnya tidak terjadi.
Farid, memberikan tanggapan bahwa bukan hanya faktor over capacity tetapi ada pula penghematan anggaran konsumsi setiap hari para tahanan jika amnesti dapat terlaksana. Negara bisa menghemat sekitar 880 juta untuk konsumsi makanan tahanan yang dapat dialihkan pada program Makan Siang Gratis (MBG) yang dicetuskan oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Amnesti yang sedang hangat akhir-akhir ini sepertinya tidak akan ada lagi setelah berlakunya KUHP yang baru atau UU No. 1 Tahun 2023 dikarenakan bervariasinya pidana yang dapat dijatuhkan kepada terpidana.
Diskusi ini berhasil memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebijakan amnesti, sekaligus membuka ruang untuk merenungkan tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.
• Red