
Oleh : Hasbullah Fudail ( Penggiat HAM )
Reportikaindonesia.com // Sulawesi Selatan – Banjir besar yang melanda kawasan Sulawesi Selatan (Makassar, Maros, Gowa ) dalam sepekan terakhir sejak Senin 10/02/2025 sampai hari ini Kamis 13/02/2025 , telah menimbulkan kerugian besar secara ekologis, ekonomi dan korban jiwa. Banjir ini disebabkan selain karena volume intensitas curah hujan yang berlebihan juga akibat pembukaan pintu pelimpah bendungan Bili Bili yang ada di kabupaten Gowa. Dengan pembukaan bendungan ini maka total outflow air bendungan sebesar 475,22 m3/detik akan menggenangi dan berdampak ke Maros dan Makassar.
Hutan yang telah digunduli untuk berbagai kepentingan pertambangan, perkebunan maupun perumahan dan lainnya. Sehingga fungsi utama hutan sebagai resepan air dan tempat bersemayamnya berbagai aneka flora dan fauna mengalami kerusakan hebat.
Ketika lingkungan hidup tidak mampu lagi mengembang fungsi utamanya, maka berbagai dampak akan ditimbulkannya seperti terjadinya banjir, longsor, kekeringan, kebakaran dan lainnya yang merupakan bencana ekologis.
Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sulawesi Selatan dalam sepekan ini menjadi tanda, bahwa alam lingkungan hidup tidak lagi mampu bersahabat dengan manusia. Berbagai hasil dari alam telah diambil dan diekploitasi secara berlebihan oleh manusia baik sebagai perorangan maupun perusahaan korporasi. Banjir ini menyebabkan lebih dari 4.000 jiwa di Makassar dan Maros harus mengungsi, suasana perkantoran diliburkan, aktifitas ekonomi lumpuh khususnya transportasi dari dan menuju Makassar ke bagian Timur yang akan menuju dan melewati Trans Sulawesi. Bahkan dampak dari banjir ini menimbulkan korban jiwa yang meninggal.
Banjir menyebabkan barang-barang kebutuhan pokok, hasil pertanian, dan komoditas perdagangan tidak dapat didistribusikan secara lancar. Banjir juga berdampak besar pada sektor pertanian. Lahan pertanian di Maros, Pangkep, dan Barru yang tergenang air mengakibatkan gagal panen. Diperkirakan sekitar 5.000-10.000 hektar lahan padi dan hortikultura rusak. Sulawesi Selatan biasanya menghasilkan sekitar 2,5 juta ton beras per tahun. Namun, banjir ini diperkirakan mengurangi produksi regional hingga 10-15% pada Februari-Maret 2024,” ujar Abdul Muthalib Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Makassar Rabu (12/2).
Potensi Pelanggaran HAM akibat Banjir Siapa yang harus disalahkan atau dituntut ketika terjadi banjir yang menyebabkan banyak kerugian lingkungan hidup dan korban jiwa ?. Apakah banjir yang melanda wilayah Sulawesi Selatan dalam sepekan terakhir bisa dianggap sebagai perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ?.
Jika membedah penyebab terjadinnya banjir, alam/curah hujan selalu menjadi alasan utama atau variable bebas (independent variable). Adanya curah hujan yang tinggi menyebabkan volume air melebihi kapasitas bentang alam seperti sungai, danau, bendungan dan lainnya untuk menampung air, mengakibatkan air meluber ke daratan yang telah ditempati manusia untuk mencari keseimbangan menyebabkan banjir. Sementara variable terikat/tidak bebas (dependent variable) seperti : alih fungsi lahan untuk (pemukiman, kantor dan pabrik), penggundulan hutan, exploitasi akibat pertambangan resmi maupun liar tidak selalu disalahkan.
Jika variable terikat ini menjadi objek yang bisa dianggap pelaku yang menyebabkan terjadinya banjir maka baik pemilik perorangan maupun badan hukum itulah yang harus diberi sanksi hukuman baik pidana maupun denda karena melakukan pelanggaran HAM lingkungan hidup.
Kasus yang lebih menarik adalah banjir yang terjadi di Makassar dan Maros , jika melihat kondisi curah hujan saat itu tidak terlalu besar volumenya, akan tetapi karena pembukaan pelimpah air dari Bendungan Bili-Bili yang ada di kabupaten Gowa karena volume air yang melebihi batas kapasitas menyebabkan terjadinya banjir di Maros dan Makassar.
Selain itu sungai Maros yang membentang melewati kota Maros yang menjadi aliran tumpah dari Bendungan Bili Bili kondisinya semakin dangkal . Sementara itu tanggul pinggir sungai Maros tidak mampu secara maksimal membendung air sungai yang meluap karena pembangunan tanggul sepanjang sungai Maros belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten). Jika curah hujan tinggi di bagian hulu maka aliran sungai pada saat itu kondisinya lebih tinggi dari daratan kota Maros. Jika tanggul tersebut jebol maka bisa dipastikan akan sangat banyak korban yang terjadi di Maros. Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk segera menyelesaikan pembangunan tanggul sepanjang sungai Maros khususnya yang membentang sepanjang ibukota kabupaten Maros.
Apabila pemerintah lalai dan tidak mempunyai kebijakan politik untuk segera membangun tanggul sepanjang sungai Maros, maka inilah sesungguhnya potensi terjadinya pelanggaran HAM oleh pemerintah. Selain itu alih fungsi lahan, penggudulan hutan, sekploitasi pertambangan yang dilakukan secara individu maupun perusahaan korporasi berbadan hukum juga berpotensi melakukan pelanggaran HAM karena menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir.
Lingkungan hidup yang baik sebagai pemenuhan HAM
Dimasa depan perlu menegakkan hukum atas kerusakan lingkungan yang menyebabkan terjadinya Banjir. Pelanggaran regulasi terhadap lingkungan hidup merupakan kejahatan konstitusional. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H UUD RI Tahun 1945.
Regulasi HAM atas lingkungan hidup semakin dipertegas dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). UUPPLH merupakan jaminan perlindungan HAM atas lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) UUPLH yang berbunyi: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Walaupun demikian, disamping mempunyai hak, menurut Pasal 6 Ayat (1) UUPLH: ”setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 ayat (3) menegaskan: “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Hal tersebut dipertegas dan dikuatkan dalam Pasal 28 H Ayat 1 UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Telah menjadi keharusan bahwa akses ke lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah bagian dari hak asasi manusia , karena lingkungan yang aman, bersih, sehat dan berkelanjutan merupakan bagian integral dari penikmatan penuh untuk hidup, kesehatan, makanan, air dan sanitasi.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Idealnya dimasa depan, pelanggaran terhadap kerusakan lingkungan yang dilakukan seseorang/badan hukum/Lembaga negara yang menimbulkan bencana kemanusiaan seperti banjir yang banyak menimbulkan kerugian lingkungan hidup, ekonomi maupun korban jiwa harusnya bisa diganjar sebagai pelanggaran HAM dan diberi sanksi pidana maupun ganti rugi.
Ini menjadi hal penting di tengah semakin banyaknya terjadi bencana alam dan berulang yang menyebabkan kerusakan dan kerugian secara materi yang tidak sedikit. Kita merindukan pengadilan yang akan memutuskan kepada siapa hukuman akan diberikan berdasarkan data-data empirik yang ada.
• Red