
Reportikaindonesia.com // Kota Tasikmalaya, Jawa Barat – Bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
Negara juga menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; d. bahwa makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan;
Pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria perlu perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.
Untuk kepentingan hal tersebut pemerintah daerah wajib menjaga lahan persawahan dari praktek alih fungsi. Berkaitan dengan adanya pembangunan mini market Alfamidi di lokasi sawah pertanian perlu perhatian/pengawasan dari pemerintah kota Tasikmalaya melalui mekanisme perizinan. Hal ini juga sebagai amanat dari Pasal 13 dan 14 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi soal legal atau ilegal. Tapi soal apakah pemerintah daerah ini masih punya keberanian? Atau jangan-jangan, bangunan minimarket ini berdiri bukan hanya di atas LSD, (Lahan Sawah Dilindungi) tapi juga di atas tanah kompromi dan pembiaran ?
Di sebuah kota yang katanya sedang menuju Smart City, kita dihadapkan pada sebuah ironi yang pintar sebuah minimarket raksasa berdiri megah di atas Lahan Sawah Dilindungi (LSD), tanpa izin bangunan, tanpa izin operasional, tapi tetap bisa berjualan seperti biasa. Mungkin inilah versi lokal dari “izin menyusul”, atau lebih tepatnya, “aturan bisa dinego” ?
Kepada reportikaindonesia.com Iwan Supriadi sebagai warga yang konsern terhadap perkembangan penggunaan pola ruang, lingkungan hidup dan kebijakan publik lainnya, jumat (16/05) menyampaikan, “Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan, ketika ditanya permasalahan ini, menjawab enteng,“Teknis itu mah.” Sebuah jawaban yang, meskipun terdengar ringan, sebenarnya sangat berat konsekuensinya. Karena ketika kepala daerah tak punya sikap atas pelanggaran terang-terangan, maka pesan yang sampai ke publik jelas: aturan bisa dilanggar selama yang melanggar punya modal. Tentu kita paham, menjadi pemimpin itu berat. Tapi berat bukan berarti boleh cuci tangan. Apalagi jika tangan-tangan di bawah justru sudah mengakui bahwa izin tidak ada, SP3 sudah diberikan, dan bangunan berdiri di zona yang semestinya dijaga untuk pangan rakyat, bukan untuk rak dagang ritel modern.
Lebih lanjut Iwan menegaskan, “Yang lucu kalau kita masih bisa tertawa adalah bagaimana semua pihak saling menunjuk, Dinas PUTR bilang hanya pengawas, bukan penindak. Dinas KUMKM Perindag bilang belum ada pengajuan izin. Satpol PP ? Entah di mana. Dan sang Walikota ? Menyuruh tanya ke “PU saja.” Sungguh sebuah orkestra kebingungan birokrasi yang harmoni dalam kelambanan”.
Sementara itu, kepala toko Alfamidi menyatakan tidak tahu soal izin. Wajar. Mereka hanya disuruh buka toko. Urusan hukum dan lingkungan? Itu diurus para “dewa perusahaan” yang entah di mana. Tapi herannya, mereka bisa begitu yakin buka gerai tanpa takut dibongkar. Mungkin karena sudah tahu, di kota ini, hukum bukan tembok, tapi tirai tipis yang gampang disibak ?
Yang lebih menyedihkan saat pedagang kecil telat bayar retribusi, mereka bisa langsung kena semprot. Tapi saat Coorporasi besar melanggar izin, semua mendadak bungkam dan sibuk mencari SOP ?!!
(Din-015)