
Reportikaindonesia.com // Bandung, Jawa Barat – 4 Agustus 2025. Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Penguatan Hak Asasi Manusia Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)” di dua lembaga pemasyarakatan di Kota Bandung, yakni Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung yang dikenal juga sebagai Lapas Mojang Priangan (Lamoria). Lapas ini terletak di Jl. Pacuan Kuda No.3, Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung, Jawa Barat.
Acara yang berlangsung dari pukul 13.00 hingga 14.30 WIB ini diisi oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat Hasbullah Fudail, Kepala Bidang HAM Petrus Polus Jadu (akrab disapa Paul), serta jajaran petugas lapas dan warga binaan. Kegiatan dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan pembacaan doa, kemudian dilanjutkan sambutan dari Kepala Lapas Perempuan Gayatri Rachmi Rilowati selaku Kepala Lapas Perempuan Kelas IIA Bandung serta pengantar diskusi dari Paul.
Di Lapas Mojang Priangan, suasana terasa hangat dan disambut antusias oleh para perempuan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Paul membuka diskusi dengan menyampaikan asal-usulnya dari Flores, NTT, dan menyatakan bahwa hukum dan HAM adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Ia juga menyampaikan bahwa perempuan yang sedang menjalani pidana tetap memiliki hak-hak dasar yang melekat. “Perempuan di dalam sini tetap manusia utuh, hanya beberapa hak sipil dan politik yang memang dicabut secara sah,” ujarnya.
Dalam diskusi, seorang WBP perempuan menyampaikan bahwa terdapat 55 warga binaan yang mengalami keterlambatan penerbitan surat keputusan integrasi. Keluhan ini langsung direspons oleh Hasbullah, yang berjanji akan melakukan evaluasi administratif secara menyeluruh.
Isu pemenuhan kebutuhan biologis kembali mencuat. Hasbullah menyampaikan bahwa banyak pasangan suami-istri bercerai karena tidak mendapat akses untuk bersua dalam waktu yang terlalu lama. Ia mendorong adanya kebijakan fasilitas kunjungan khusus suami-istri yang legal dan terkelola baik. “Kalau negara tidak siapkan, nanti dimanfaatkan oknum. Justru kalau dikelola negara, uangnya masuk negara,” ucapnya.
Hasbullah menyatakan bahwa orang yang sudah menjalani hukuman harus diperlakukan layaknya orang yang telah bertobat. “Ibaratnya sudah taubatan nasuha. Jangan terus dikucilkan,” katanya.
Paul juga mengangkat fenomena stigma terhadap perempuan yang menjalani pidana, serta bercerita tentang sebuah kasus perselingkuhan karena kebutuhan biologis yang tidak terpenuhi. Menurutnya, masalah-masalah ini sangat mendasar dan perlu ditangani dalam kerangka hak asasi manusia, bukan sekadar moralitas sosial.
Dalam sebuah sesi terpisah, tim dari Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat mewawancarai salah satu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) perempuan di Lapas. Dari hasil wawancara tersebut, terungkap bahwa WBP tersebut merupakan seorang ibu dari tiga anak. Sejak menjalani masa penahanan, ia ditinggalkan oleh sang suami, dan kini harus mengasuh salah satu anaknya yang masih bayi di dalam lingkungan Lapas.
Diketahui, bayi tersebut membutuhkan asupan Air Susu Ibu (ASI) sebagai bagian penting dari pertumbuhannya. Sementara itu, dua anak lainnya terpaksa diasuh oleh kakak dari pihak ibu, karena tidak mendapat pengasuhan dari ayah kandung mereka.
Kisah ini menjadi cerminan nyata urgensi pemenuhan hak-hak biologis bagi WBP, agar mencegah hal tersebut terjadi lagi. Situasi semacam ini menegaskan perlunya perhatian serius terhadap kondisi keluarga yang terdampak langsung oleh sistem pemasyarakatan.
Acara di kedua lapas ditutup dengan pesan moral dan spiritual dari Paul dan Hasbullah agar warga binaan memaknai masa pidana sebagai proses pembelajaran dan penguatan karakter. Ditekankan bahwa penghormatan terhadap HAM adalah bagian tak terpisahkan dari proses pembinaan dan reintegrasi sosial.
Acara diakhiri dengan sesi foto bersama antara Kanwil HAM Jabar, pihak Lapas, dan seluruh WBP peserta diskusi.
• Red