
Reportikaindonesia.com // Kota Tasikmalaya, Jawa Barat – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Merah Putih Tasikmalaya menyoroti serius tata kelola pemerintahan di Kota Tasikmalaya, khususnya di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), yang diduga telah mengabaikan etika dan ketentuan hukum dalam praktik bersurat resmi pemerintahan.
Menurut Endra Rusnendar, SH, Pembina YLBH Merah Putih Tasikmalaya, dugaan pelanggaran etika korespondensi pemerintahan bukanlah hal kecil. Surat resmi adalah instrumen negara yang diatur oleh hukum dan berimplikasi pada sah atau tidaknya sebuah tindakan administrasi.
Endra menegaskan bahwa aturan hukum sudah jelas mengikat pejabat pemerintah, antara lain:
1. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 5 ayat (2) huruf a: pejabat wajib menaati asas legalitas dan kepastian hukum.
2. Permendagri No. 1 Tahun 2023 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah, yang mengatur standar etika, format, dan akuntabilitas dalam persuratan.
3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 58 huruf f: kepala perangkat daerah wajib melaksanakan tertib administrasi.
“Jika BPKAD mengabaikan etika bersurat sebagaimana diatur dalam peraturan, ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga menciderai marwah konstitusi. Dan tanggung jawab terbesar ada di tangan pucuk pimpinan BPKAD Kota Tasikmalaya,” tegas Endra.
Menanggapi hal ini kepada reportikaindonesia.com minggu (07/09), Ketua Balai Pewarta Nasional (BPN), Erlan Roeslana, menilai bahwa persoalan ini tidak bisa dilihat hanya dari aspek hukum, tetapi juga dari sudut pandang komunikasi publik dan kredibilitas pemerintah daerah.
“Dalam kacamata jurnalistik, tata naskah dinas bukan sekadar surat-menyurat. Itu adalah wajah pemerintah di mata publik. Ketika etika administratif diabaikan, pesan yang sampai ke masyarakat adalah pemerintah tidak serius menjalankan aturan. Hal seperti ini akan memperburuk krisis kepercayaan publik yang selama ini sudah rapuh,” ungkap Erlan.
Erlan menambahkan, media memiliki tanggung jawab untuk mengawal persoalan ini, karena menyangkut hak publik untuk tahu (right to know). “Kalau pejabat publik bisa semaunya mengabaikan aturan, maka jurnalis harus hadir untuk menyoroti, agar tidak ada lagi ruang gelap dalam birokrasi,” jelasnya.
Menurut LBH Merah Putih, lemahnya disiplin administratif di BPKAD hanya menandakan satu hal: gagalnya kepemimpinan di tingkat tertinggi.
“Kalau urusan etika bersurat saja abai, bagaimana mungkin publik bisa percaya bahwa pengelolaan miliaran rupiah APBD dikelola secara transparan?” ujar Endra.
Atas persoalan ini, YLBH Merah Putih bersama Balai Pewarta Nasional mendesak Wali Kota Tasikmalaya segera mengevaluasi pimpinan BPKAD. Evaluasi harus menyeluruh, bukan sekadar formalitas, melainkan menyentuh aspek kepatuhan hukum, etika birokrasi, dan integritas.
“Pemerintahan daerah tidak boleh berjalan dengan pola semau gue. Jika pola ini dibiarkan, Kota Tasikmalaya akan terus berada dalam kondisi tidak baik-baik saja,” pungkas Endra, yang diamini oleh Ketua BPN Erlan Roeslana.
(RI-015)