
Reportikaindonesia.com // Cimahi, Jawa Barat – Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir kerap disorot publik sebagai salah satu provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Berbagai laporan lembaga independen, termasuk SETARA Institute, menempatkan sejumlah kota di Jawa Barat dalam kategori “zona merah” intoleransi. Catatan peristiwa penolakan pendirian rumah ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan, hingga konflik horizontal berbasis SARA telah mengukuhkan stigma tersebut. Kondisi ini tentu memprihatinkan, sebab Jawa Barat sejatinya adalah daerah dengan keragaman budaya, etnis, dan agama yang kaya, serta memiliki potensi besar dalam mewujudkan keharmonisan sosial.
Menyadari hal itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat, Hasbullah Fudail, S.H., M.Si., berinisiatif melahirkan sebuah proyek perubahan bertajuk “Jabar Toleran”. Program ini merupakan wujud kegelisahan sekaligus komitmen untuk mengikis stigma intoleransi yang melekat pada Jawa Barat. Hasbullah memandang bahwa persoalan intoleransi tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena selain melanggar prinsip hak asasi manusia yang dijamin konstitusi, juga berpotensi merusak iklim investasi, pariwisata, dan pembangunan daerah secara menyeluruh.
Gagasan Jabar Toleran ia sampaikan secara resmi dalam presentasi Rancangan Proyek Perubahan pada rangkaian kegiatan Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II Angkatan XXVII. Presentasi tersebut digelar di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Jawa Barat, Jl. Kolonel Masturi No. KM, RW.5, Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, Kota Cimahi, pada Kamis (9/11). Acara ini menjadi forum penting untuk menguji substansi, strategi, dan keberlanjutan program yang dirancang. Setelah melalui pembahasan intensif, proyek perubahan ini telah diperiksa dan disetujui dalam Seminar Rancangan Proyek Perubahan PKN Tingkat II.
Dalam forum tersebut, Dr. Ir. Momon Rivai, M.Sc., yang bertindak sebagai coach, mendampingi Hasbullah sepanjang proses diklat dan memberikan arahan penting agar rancangan proyek lebih tajam dalam strategi implementasi. Sementara itu, Drs. Kusmana Hatadji, M.M., Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (Dispusipda) Provinsi Jawa Barat, selaku penguji seminar, menekankan perlunya integrasi program “Jabar Toleran” ke dalam regulasi daerah. Ia mengoreksi bahwa rancangan ini sebaiknya tidak hanya berhenti di level konsep, tetapi juga diterjemahkan dalam bentuk Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, maupun Peraturan Bupati di seluruh Jawa Barat. “Gubernur merupakan representasi masyarakat Jawa Barat, sehingga harus tahu, menyetujui, sekaligus ikut memastikan keberhasilan implementasi,” tegasnya.
Di sisi lain, Prof. Dr. Rumadi Ahmad, M.Ag., Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi dan Legislasi di Kementerian Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang menjadi mentor dalam diklat ini juga memberikan catatan penting. Pertama, indikator toleransi jangan hanya mengacu pada data SETARA Institute, melainkan juga perlu menggunakan data resmi pemerintah seperti Kementerian Agama agar lebih objektif dan berimbang. Kedua, Rumadi menyarankan agar fokus pembahasan diarahkan secara spesifik ke isu intoleransi, tanpa terlalu melebar membahas isu lain, agar substansi presentasi terlihat jelas dan tidak bias.
Hasbullah sendiri dalam paparannya menjelaskan bahwa Jabar Toleran dirancang dengan mengintegrasikan tiga pendekatan utama. Pertama, pendekatan regulatif, dengan mendorong lahirnya regulasi berupa pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penguatan Toleransi dan Moderasi Beragama di tingkat daerah. Kedua, pendekatan kultural, dengan menghidupkan kembali nilai-nilai lokal Sunda silih asah, silih asih, silih asuh serta menyelenggarakan festival budaya lintas iman. Ketiga, pendekatan digital, melalui kampanye damai di media sosial, pengembangan aplikasi pelaporan intoleransi, dan sistem deteksi dini berbasis komunitas.
Sebelum acara usai, momentum menarik terjadi ketika Dr. Drs. H. Agus Mulyadi, M.Si., Sekda Kota Cirebon, kebetulan menyambangi ruangan seminar. Pertemuan singkat ini menjadi kesempatan pertama bagi Hasbullah menyuarakan langsung gagasannya kepada stakeholder tingkat kota/kabupaten di Jawa Barat. Kehadiran Agus Mulyadi sekaligus membuka ruang kolaborasi nyata bahwa proyek “Jabar Toleran” akan melibatkan pemerintah daerah di seluruh level.
Sepanjang kegiatan, Hasbullah juga didampingi oleh Muhammad Damar Setyo Kumoro, Deputi Pengembangan Organisasi Komunitas Pemuda Pelajar Pencinta Hak Asasi Manusia Jawa Barat (KOPPETA HAM Jabar). Ia berperan sebagai operator presentasi, dokumentasi acara, sekaligus penulis redaksi berita, memastikan gagasan Jabar Toleran tersampaikan secara utuh dan terarsip dengan baik.
Dengan dukungan mentor, coach, penguji, hingga stakeholder daerah, gagasan “Jabar Toleran” kini semakin matang untuk diwujudkan. Dari sebuah stigma negatif, Jawa Barat berpeluang besar tampil sebagai pelopor provinsi toleransi di Indonesia. Melalui proyek perubahan ini, Hasbullah Fudail menunjukkan bahwa kepemimpinan visioner, kolaboratif, dan berbasis nilai kemanusiaan dapat menghadirkan optimisme baru bagi masyarakat Jawa Barat yang harmonis, inklusif, dan berkelanjutan, bekerjasama mewujudkan program Gubernur Dedi Mulyadi, “Jawa Barat Istimewa”.
• Red