
Reportikaindonesia.com // Kuningan, Jawa Barat – Munculnya berbagai dugaan pelanggaran HAM atas perlakuan diskriminasi kepada komunitas Ahamdiyah dan Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan, menjadi atensi Hasbullah Fudail selaku Kepala Kantor Wilayah Kementerian HAM Jawa Barat (Kakamwil Kemenham). Hal ini menjadi penting untuk menjadi kajian dalam merumuskan jalan terbaik agar kedua komunitas ini mendapat perlingdungan dari negara atas kebebasan untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945.
Menurut Hasbullah, perlakuan diskriminasi terhadap kedua komunitas ini menjadi salah satu indikator sehingga kabupaten Kuningan, menjadi salah satu kabupaten zona merah dalam hal toleransi beragama. Atas berbagai kejadian dugaan pelanggaran HAM ini, berimplikasi terhadap suasana harmonis di Jawa Barat, sehingga provinsi Jawa Barat juga di cap sebagai salah satu provinsi paling intoleran di Indonesia.
Kanwil KemenHAM Jawa Barat berkomitmen untuk membangun kolaborasi dengan komunitas Ahamdiyah dan Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan dalam mencari solusi terbaik atas berbagai persoalan yang dihadapi selama ini. Langkah ini diambil menyusul berbagai permasalahan yang selama ini dialami oleh komunitas tersebut, antara lain : diskriminasi dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan, sengketa tanah adat, belum ada pengakuan secara hukum adat, serta diskriminasi terhadap tradisi dan kepercayaan mereka, dan lain-lain.
Sunda Wiwitan menghadapi situasi pelik terkait klaim tanah adat yang sedang dalam ancaman eksekusi lantaran putusan pengadilan yang memandang sengketa sebagai persoalan waris keluarga. Masyarakat adat menolak putusan tersebut dengan alasan lahan yang disengketakan merupakan warisan budaya dan sejarah yang harus dilindungi secara khusus.
Belum adanya pengakuan formal sebagai masyarakat hukum adat juga menjadi salah satu tantangan besar. Hal ini menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak adat mereka, sehingga masyarakat Sunda Wiwitan kerap mengalami diskriminasi dan intoleransi dalam melaksanakan ritual serta melestarikan tradisi leluhur.
“Kami bersedia menjadi penghubung antara pihak komunitas Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan agar dapat berdiskusi di satu tempat yang sama, dengan tujuan menyelesaikan permasalahan yang sudah lama ada,” demikian Hasbullah. Ia menambahkan, kolaborasi ini bertujuan menjembatani berbagai persoalan yang ada, mulai dari perlindungan kebebasan beribadah, pengakuan hukum hingga perlindungan hak masyarakat adat secara menyeluruh, agar keberadaan komunitas ini bisa dihormati dan dilestarikan dalam bingkai hukum nasional.
KemenHAM bersama pemerintah daerah Kabupaten Kuningan, Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) akan melakukan mediasi dan dialog untuk mengatasi konflik antara regulasi pemerintah dan kebutuhan kedua komunitas ini. Dengan dukungan kolaborasi ini diharapkan solusi yang inklusif dan berperspektif Hak Asasi Manusia dapat tercapai demi menjaga harmoni sosial dan keberagaman budaya di wilayah tersebut.
Masyarakat Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan sendiri turut membuka diri untuk berdialog dan menjalin kerja sama demi masa depan yang lebih harmonis, serta pelestarian warisan budaya leluhur yang menjadi jati diri mereka. Kolaborasi yang akan dibangun diharapkan tidak hanya menyelesaikan persoalan administratif dan hukum, namun juga memperkuat pemahaman lintas budaya dan kepercayaan demi menjaga nilai-nilai luhur dan kekayaan spiritual Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan.
Demikian beberapa hasil dialog yang dilakukan Kakanwil KemenHAM dengan tokoh Sunda Wiwitan : Dodo Budiono (Kokolot Adat Wareh Paleben Cigugur), ibu Djuwita Djati (Girang Pamgaping Adat Wareh Majalengka & Ciamis, ibu Sepuh, Rt. Emalia Djatikusumah. Sementara tokoh Ahmadiyah : Aan Mulya Nugraha Sekretaris Humas JAI Manislor, Kepala Desa (Kuwu) Manislor Rusdi, Dudung ZA , M. Tatan LDB . Jumat, 26 September 2025 di Cigugur dan Manislor Kabupaten Kuningan.
• Red