Reportikaindonesia.com // Tasikmalaya, Jawa Barat – Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Merah Putih Tasikmalaya dan komisi III DPRD Kabupaten Tasikmalaya akhirnya berlangsung pada Jumat, 24 Oktober 2025, setelah sempat tertunda sekitar satu jam dari jadwal semula. Rapat yang dijadwalkan mulai pukul 08.30 WIB baru dimulai pada pukul 09.20 WIB di Gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya, menandai awal dialog publik penting mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pembatalan 12 proyek jalan daerah.
Sebelum rapat dimulai, suasana sempat memanas ketika salah satu perwakilan LBH Merah Putih menyampaikan keberatan atas fasilitas ruangan rapat yang dinilai kurang memadai.
Perwakilan LBH meminta agar forum dipindahkan ke ruang yang lebih representatif untuk menjamin kenyamanan dan keterbukaan proses dengar pendapat.
Setelah koordinasi singkat, staf Sekretariat DPRD mengarahkan peserta ke ruang rapat lain yang lebih layak, dan rapat pun baru dapat dimulai setelah situasi dinyatakan kondusif.
Hadir dalam rapat dengar pendapat tersebut Kepala Dinas PUTRLH aam, Kabid Jalan dan Jembaran serta perwakilan dari Inspektorat. Dari pihak LBH Merah Putih menyayangkan ketidakhadiran dari Bagian Hukum, Endra menyebutkan bahwa segala persoalan dalam forum tersebut terkait dengan produk hukum.
Empat Isu Pokok: Transparansi, Dasar Hukum, dan Prosedur
Dalam forum RDPU yang dipimpin oleh Komisi III DPRD Kabupaten Tasikmalaya tersebut, Pembins Yayasan LBH Merah Putih Endra Rusnendar SH, menyampaikan setidaknya empat pertanyaan mendasar terkait kebijakan penundaan dan pembatalan proyek pembangunan jalan:
1. Dasar hukum penundaan kegiatan 12 proyek jalan — apakah didukung oleh dokumen resmi dan keputusan administratif yang sah.
2. Kejelasan status penundaan — apakah proyek hanya ditunda sementara atau benar-benar dibatalkan.
3. Keberadaan surat pemberitahuan resmi kepada DPRD apakah lembaga legislatif telah menerima pemberitahuan tertulis dari pihak eksekutif.
4. Transparansi komunikasi publik sejauh mana masyarakat dilibatkan atau diberi akses atas informasi kebijakan tersebut.
Dari total 25 pertanyaan yang telah disiapkan LBH Merah Putih, baru empat pertanyaan yang dapat disampaikan dalam rapat kali ini. Hal tersebut terjadi lantaran beberapa pihak yang diundang, termasuk perwakilan eksekutif terkait, tidak hadir dalam forum, sehingga pembahasan tidak bisa berjalan secara utuh.
Permintaan audiensi LBH Merah Putih, sebagaimana tercantum dalam surat resmi bernomor 045/LBH-MP/X/2025, menyoroti potensi pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan prinsip good governance yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Langkah DPRD menindaklanjuti surat tersebut melalui RDPU dinilai sebagai wujud pelaksanaan fungsi pengawasan legislatif. Namun, publik menunggu sejauh mana DPRD mampu menegakkan transparansi dan meminta pertanggungjawaban Bupati Tasikmalaya atas kebijakan pembatalan proyek tersebut.
“Kami datang bukan untuk menuding, tapi untuk meminta kejelasan hukum dan prosedur. Kebijakan yang berdampak langsung pada publik harus terbuka dan bisa diuji dasar hukumnya,” ujar Niko kuasa hukum dari CV, dalam forum rapat.
LBH menegaskan bahwa pembatalan proyek tanpa dasar hukum yang jelas dan tanpa komunikasi resmi ke DPRD maupun publik berpotensi menjadi maladministrasi serta melanggar prinsip akuntabilitas keuangan daerah.
Rapat Dengar Pendapat ini menjadi cermin sejauh mana demokrasi lokal berjalan di Tasikmalaya. Dalam konteks otonomi daerah, keterbukaan informasi dan akuntabilitas publik bukan sekadar formalitas administratif, melainkan fondasi utama legitimasi kekuasaan daerah.
Jika DPRD mampu menindaklanjuti temuan ini secara serius bahkan hingga membentuk Panitia Khusus (Pansus) atau tim pengawasan independen, maka Tasikmalaya berpeluang menegakkan standar baru tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Namun jika sebaliknya, kasus ini berisiko menjadi preseden buruk bagi sistem pengawasan daerah, di mana kebijakan strategis dapat berubah tanpa alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Rapat Dengar Pendapat antara LBH Merah Putih dan DPRD Kabupaten Tasikmalaya masih akan berlanjut dalam pertemuan berikutnya. Tim liputan akan terus memantau dan menelusuri perkembangan hasil tindak lanjut, termasuk kemungkinan rekomendasi resmi DPRD terhadap Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya atau opsi lain yang lebih investigatif yakni harus berakhir di pembentukan PANSUS terkait isu tersebut.
(RI-015)


