Reportikaindonesia.com // Kota Tasikmalaya, Jawa Barat — DPP Balai Pewarta Nasional (BPN) meningkatkan level pengawasan setelah menemukan sejumlah indikasi awal ketidakwajaran dalam belanja insentif dan hibah Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya di APBD 2025. Sorotan utama mengarah pada anggaran Rp 5,6 miliar untuk insentif tenaga kesehatan COVID-19 dan tiga pos hibah lain yang dinilai tidak transparan, tidak sinkron, dan berpotensi melanggar aturan pengelolaan keuangan daerah.
BPN secara resmi mengirim surat bernomor 005/DPP-BPN/XII/2025, meminta klarifikasi tertulis lengkap. Permintaan itu bukan tanpa alasan: temuan investigatif awal BPN menyebutkan adanya ketidaksesuaian antara data RUP, ketentuan regulasi, serta informasi yang beredar di internal Pemkot.
Empat Anggaran Disorot: Indikasi Ketidaksesuaian Prosedur dan Kelemahan Pengendalian Internal
BPN memfokuskan investigasi pada empat kegiatan yang dianggap paling rawan penyimpangan:
1. Belanja Insentif Nakes COVID-19 — Rp 5.659.429.000
2. Hibah Posyandu — Rp 107 juta
3. Hibah PMI Kota Tasik — Rp 250 juta
4. Hibah Sosial Kemasyarakatan Lainnya Rp 200 juta
Menurut BPN, keempat anggaran tersebut wajib tunduk pada persyaratan ketat yang diatur dalam UU 23/2014, PP 12/2019, serta Permendagri 13/2006 jo. 21/2011. Namun investigasi awal menemukan:
Tidak ada NPHD dan KAK yang dipublikasikan sebagaimana standar transparansi.
RUP tidak menyertakan informasi verifikasi penerima, padahal wajib dicantumkan untuk jenis hibah.
Anggaran insentif nakes tidak disertai daftar rinci penerima 2020–2022, sehingga BPN menilai klaim tunggakan perlu diverifikasi ulang.
Kadis Mengakui Ada Tunggakan, Namun BPN Menilai Penjelasan Belum Menjawab Seluruh Pertanyaan.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, dr. Asep H., mengakui bahwa anggaran Rp 5,6 miliar tersebut merupakan pembayaran tunggakan insentif tahun 2020–2022, bukan insentif baru.
Namun BPN menemukan beberapa celah penjelasan:
1. Alasan “keterbatasan fiskal” tidak cukup menjelaskan kenapa tunggakan terjadi hanya di Kota Tasikmalaya.
Kota lain tetap berhasil menyelesaikan insentif sejak 2020–2021.
2. BPN mencatat bahwa tunggakan insentif seharusnya memiliki dokumen lengkap: daftar nama, nilai masing-masing, dan verifikasi Satgas COVID-19.
Namun dokumen tersebut belum pernah dipublikasikan.
3. Klaim bahwa Kemenkes sempat hendak membayar melalui provinsi perlu diverifikasi regulasinya.
Skema ini tidak ditemukan dalam ketentuan penyaluran insentif nasional.
4. Anggaran Rp 5,6 miliar tahun 2025 harus disertai rincian beban masing-masing tahun.
Tanpa itu, publik sulit mengetahui apakah nilai yang dibayarkan sesuai perhitungan hak nakes.
Dengan kata lain, penjelasan Kadinkes masih membuka lebih banyak pertanyaan dibanding jawaban.
Hibah Posyandu, PMI, dan Hibah Sosial: Tiga Anggaran Tanpa Jejak Dokumen
Koordinator Investigasi BPN, Rahmat Riadi, menegaskan:
“Daftar penerima hibah dan NPHD bukan dokumen rahasia. Jika tidak tersedia, maka belanja tersebut secara otomatis tidak memenuhi standar akuntabilitas publik.”
BPN Menerapkan Tekanan Regulatatif: Ultimatum Tiga Hari
Dalam surat resminya, BPN memberikan tenggat maksimal tiga hari kerja untuk menyerahkan:
KAK semua kegiatan
Daftar penerima insentif COVID-19 2020–2022
NPHD dan dokumentasi hibah PMI
Daftar penerima hibah Posyandu dan hibah sosial
Bukti serah terima hibah
BPN menegaskan bahwa tidak adanya respons akan dianggap sebagai sinyal awal potensi penyimpangan. Jika hingga tenggat waktu dokumen tidak diberikan, BPN menyatakan akan:
Menganggap laporan masyarakat sebagai indikasi awal kebenaran
Melakukan investigasi lapangan termasuk pengecekan ke puskesmas dan lembaga penerima hibah
Mempublikasikan laporan investigatif lengkap ke publik
Penjelasan yang tidak menjawab sumber perhitungan angka Rp 5,6 miliar
RUP 2025 tidak menampilkan justifikasi kebutuhan secara regulatif
BPN Tegaskan: Pengawasan Tidak Akan Dihentikan
BPN menegaskan komitmennya untuk terus mengawal:
Akuntabilitas penggunaan APBD
Kepatuhan regulatif seluruh program hibah dan insentif
Pencegahan KKN dalam belanja strategis
Hak publik dalam mengawasi anggaran kesehatan
Investigasi lanjutan akan dilakukan secara menyeluruh setelah masa tenggat habis, termasuk kemungkinan publikasi hasil investigasi lengkap apabila Dinas Kesehatan tidak memberikan klarifikasi memadai.
“Kami tidak bekerja berdasarkan opini. Kami bekerja berdasarkan dokumen, regulasi, dan data lapangan. Menghindari transparansi hanya akan memperkuat dugaan penyimpangan,” tegas Rahmat
(RI-015)


