Reportikaindonesia.com // Kota Tasikmalaya, Jawa Barat – Pemerintah Kota Tasikmalaya tengah menggulirkan rencana besar: menertibkan lebih dari 400 bangunan yang berdiri di bantaran dan sempadan sungai. Langkah ini disebut penting untuk mitigasi banjir. Namun temuan Reportika Indonesia menunjukkan, persoalan ini jauh lebih kompleks dari sekadar bangunan yang dianggap “melanggar.”
Di balik rencana penertiban, tersimpan rangkaian pembiaran struktural, lemahnya tata kelola ruang, dan potensi maladministrasi administratif yang selama bertahun-tahun justru dilakukan atau dibiarkan oleh otoritas. Kini, ketika risiko banjir meningkat, warga tiba-tiba diminta menanggung seluruh konsekuensinya.
Menurut Endra Rusnendar SH pembina YLBH Merah Putih, selasa (09/12) kepada reportikaindonesia.com menyampaikan, penertiban boleh dilakukan, tetapi bukan dengan pola tindakan represif. Semua kebijakan harus tunduk pada prinsip due process of law, asas proporsionalitas, dan perlakuan yang tidak diskriminatif. Ia menekankan bahwa pemerintah wajib menyediakan opsi solusi alternatif yang lebih manusiawi, seperti:
• Penataan ulang berbasis zonasi,
•Relokasi yang berkeadilan,
skema pemanfaatan
• Terbatas yang terukur,
• atau rehabilitasi kawasan yang tidak menyingkirkan warga.
“Pendekatan yang hanya berorientasi pada pembongkaran dapat mengancam hak atas hunian layak, yang dilindungi undang-undang,” ujarnya.
Fakta lapangan menunjukkan penyempitan sungai terjadi secara gradual. Namun bertahun-tahun proses itu berlangsung tanpa penertiban, tanpa peringatan, dan dalam banyak kasus warga mengaku tidak pernah melihat satu pun sosialisasi resmi terkait sempadan sungai.
Di sisi lain, sejumlah bangunan komersial dan permanen di kawasan serupa justru diduga mendapatkan toleransi tanpa dasar hukum yang jelas. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah penataan ruang selama ini berjalan objektif, atau selectively enforced?
Namun pertanyaan kritisnya:
Apakah seluruh prosedur tersebut sudah dilaksanakan?
Izinnya memang tidak lengkap, namun fakta pentingnya adalah:
pemerintah mengetahui keberadaan bangunan itu, tetapi tidak melakukan tindakan korektif selama bertahun-tahun.
Artinya, potensi pelanggaran bukan ada pada warga semata tetapi juga pada sistem pengawasan yang tidak berjalan.
Daerah aliran sungai memang mengalami penurunan kapasitas. Sedimentasi meningkat, aliran terhambat, dan curah hujan ekstrem memperparah risiko. Namun solusi yang diambil tidak boleh mengorbankan satu pihak demi menyelamatkan reputasi birokrasi.
Rencana penertiban ini dapat menjadi peluang memperbaiki tata ruang kota secara menyeluruh. Namun keberhasilan kebijakan tidak akan diukur oleh berapa banyak rumah yang dihancurkan melainkan oleh seberapa adil prosesnya, seberapa transparan pemerintah bekerja, dan seberapa besar warga merasa dilibatkan, bukan dipersalahkan.
(RI-015)


