
Reportikaindonesia.com // Jawa Barat – Bertempat di ruang Bidang HAM Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, para mahasiswa Magang di Kanwil Kemenkumham Jawa Barat melakukan diskusi mingguan dengan topik “Usul BNPT Kontrol Tempat Ibadah terkait Radikalisme dan HAM”. Bertindak selaku Narasumber : HasbullahFudail (kabid HAM), Moderator : Mega Annisa, Notulen : Glandis Aullia Putri Peserta yang hadir : Staff Bidang HAM – Mahasiswa Magang : Universitas Pasundan, Universitas Jendral Ahmad Yani, dan Presiden University, Jumat/ 8 /09/2023.
Dalam pengantarnya, Hasbullah menyampaikan bahwa Eksistensi tempat ibadah khususnya masjid menjadi terusik ketika Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yaitu Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar tempat ibadah aktivitasnya dikontrol oleh pemerintah. Terdapat asumsi bahwa sebagian besar tempat ibadah menjadi tempat penyebaran paham radikalisme. sehingga perlu dilakukan kontrol dengan mengambil solusi seperti beberapa negara seperti Malaysia, Singapura, beberapa negara Timur Tengah dan Afrika.
Semua aktivitas dakwah di masjid atau tempat ibadah dipantau dan dikontrol oleh negara. Selain itu, beberapa tahun yang lalu 2017 berdasarkan hasil survei dari Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (LP3M) dan Rumah Kebangsaan melakukan survei terhadap 100 masjid di lingkungan Kementerian, Lembaga Negara dan BUMN yang ada di Jakarta.
Hasilnya sangat mengejutkan karena 41 masjid dari 100 yang di survei terindikasi terpapar paham radikal dalam ceramah atau khutbah Jumat. Dari 41 masjid yang terindikasi radikal 17 masjid berada dalam kategori tinggi, 17 tingkat kategori sedang dan 7 masjid di kategori rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masjid yang dikelola oleh pemerintah masih rentan oleh paham radikalisme. Hal ini menunjukkan belum adanya pengawasan dan pengelolaan yang serius oleh pemerintah guna mengawasi seruan agama yang disampaikan di masjidmasjid pemerintah.
Namun menurut beberapa pendapat bahwa kontrol tempat ibadah ini merupakan pelanggaran HAM dimana hal tersebut tidak sesuai dengan isi yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang di dalam Pasal 22 mengatur mengenai kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan semangatnya dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Samuel Tobing – mahasiswa FH Unpas mempertanyakan konflik antara hak individu untuk kebebasan beragama dan hak individu untuk hidup bebas dari ancaman radikal ditempat ibadah? Bagaimana menyeimbangkan kedua hak ini? Kedua, apakah tindakan preventif yang melibatkan tempat ibadah, seperti pelatihan pemahaman keagamaan yang moderat dapat dianggap sebagai bentuk campur tangan dalam praktik agama?
Menurut Hasbullah hak pasti memiliki batasannya terhadap hak orang lain. Contohnya laki-laki ketika dalam kendaraan umum, hak laki-laki dalam merokok bebas karena rokok tersebut dibeli pakai uang sendiri, tetapi Ketika merokok di tempat umum ada ibu hamil maka hak asasi laki-laki tersebut akan dibatasi oleh hak individu lain, sehingga terdapat batasan dan hak tidak sepenuhnya bebas karena bersinggungan dengan hak lain.
Untuk pelatihan keagamaan moderat itu untuk menanggulangi ekstrimisme dalam beragama yaitu adalah bagian dari kebebasan beragama dan menjadi suatu pedoman dalam beragama yang menjadi ciri khas.
Sedang Sofian Tobing – mahsiswa FH Unpas menanyakan apa perbedaan dan persamaan mengenai radikalisme politik dan agama serta mengapa ektrimisme seperti tidak diadili oleh pemerintah? Padahal bahayanya ekstrimisme ini sama halnya seperti radikalisme dan terorisme. Radikalisme menurut KBBI adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastic, dan sikap ekstrem dalam aliran politik. Adapun perbedaan radikalisme dalam politik lebih kepada tindakan revolusi, demontrasi dan protes sosial yang anarkis dengan disertai pada aksi yang merusak yang secara umum cirinya adalah selalu berkonflik (intoleran), merasa selalu benar (ekslusif) serta selalu menentang nilai-nilai negara.

Sedangkan radikalisme agama disebabkan karena terlalu banyaknya golongan-golongan dalam agama, terkait hal siapa paling benar. Mengenai ekstrimisme ini merupakan sebuah pemahaman terkait suatu hal yang melebihi batas kewajaran yang dapat melanggar hukum. Sehingga dalam hal ekstrimisme ini terkait topik bahasan adalah diharapkan bahwa rumah ibadah dimanfaatkan sesui visi dan misinya dimana dapat membangun kesejahteraan dan keadilan.
Sementara Muhammad Rifa – mahasiswa FH Unjani dalam hal control tempat ibadah pemerintah cukup meninjau bahwa semua agama sesuai dengan ketentuan tindakan nya dan tidak bertentangan dengan UUD dan kedaulatan negara serta mengedepatkan moral setiap bangsa.
Erik – mahasiswa FH Unpas Melihat dari situs kabar online, mengenai Pengontrolan sarana ibadah dilakukan karena berkaca dari luar negeri. Kasus yang beredar diluar negeri bisa tersebar dan diumumkan oleh pemerintahnya karena keluhan serta laporan dari 3 objek tadi (Pengurus tempat, Pandakwah dan Masyarakat/Jemaat).
Apakah pengontrolan dilakukan pure rata ke semua sarana ibadah sebelum menerima keluhan dan laporan dari 3 objek tadi? Serta pihak BNPT yang memiliki surat izin resmi untuk melakukan pengontrolan, Agar tidak mengganggu proses peribadatan atau kegiatan di dalam sarana tersebut. Jawab: Iya, mengenai pengontrolan rumah ibadah akan dilaksanakan pada semua rumah ibadah (semua agama). Sedangkan mengenai surat izin resmi untuk BNPT mengontrol rumah ibadah belum ada, hal tersebut dikarenakan mengenai isu ini masih dalam bentuk usulan, namun control rumah ibadah ini nantinya akan dijalankan dengan tersusun dan tersistematika.
Lulu – mahasiswa President University Jika harus membuat data base digunakan untuk membantu mengontrol, seperti sertifikasi penceramah dan lainnya, Sehingga sistem juga dapat digunakan sebagai bentuk untuk mengontrol.
Dalam penyataan penutup, Hasbullah menyampaikan dua hal : pertama tafsir mengenai “Kebenaran” ditengah suatu Masyarakat, itu tidak bisa di klaim secara Tunggal, karena tafsir suatu kebenaran hanyalah milik Tuhan. Kedua, tempat ibadah sebaiknya dilakukan pemanfaatannya sesuai dengan visi dan misinya, selain tempat melakukan ibadah ritual juga menjadi sebagai miniature bentuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan ummat/Jemaah/masyarakat.
Editing: Fhat