
Oleh : Hasbullah Fudail (Pegiat HAM)
Reportikaindonesia.com // Jawa Barat – Mencermati munculnya berbagai komflik akibat pertanahan (agraria) karena kebijakan pembangunan nasional dengan alasan mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai paradigma pembangunan masa kini. Kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi salah satu instrument pemerintah saat ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dibalik PSN tersebut berinplikasi pada berbagai konplik di masyarakat bawah.
Konflik tersebut mulai dari pembangunan jalan tol, bandara, kilang minyak, pelabuhan, hingga akibat pembangunan infrasturktur pendukung pariwisata premium seperti Danau Toba, Labuan Bajo, kasus Wadas di Jawa Tengah dan Mandalika. Sisanya akibat pembangunan stasiun, bendungan dan gelanggang olah raga (GOR)
Dengan mencermati data catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konflik agraria yang terjadi selama periode 2015-2020 mencapai 2.291 kasus. Angka itu, menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melampaui 10 tahun 2004-2014 sebelumnya yang hanya 1.770 kasus.
Atas catatan KPA, dalam periode 2015-2020, sektor perkebunan menjadi penyumbang konplik tertinggi, yaitu 851 kasus. Diikuti sektor properti 519, kehutanan 169, pertanian 147, pertambangan 141, pesisir dan pulau-pulau kecil 63 serta, pembangunan infrastruktur 30, dan fasilitas militer 21.
Sementara itu, terjadi 30 letusan konflik agraria akibat proyek pembangunan infrastruktur di tahun 2020. Konflik akibat pembangunan infrastruktur tahun ini didominasi oleh beragam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), yakni sebanyak 17 letusan konflik.
Issu Viral saat ini adalah kasus pulau Rempang di Batam Provinsi Kepulauan Riau menjadi pemberitaan aktual media asing maupun dalam negeri melalui media cetak,elektronik maupun medsos saat ini. Pengerahan aparat negara Polisi, TNI , Ditpam BP Batam untuk melakukan pengukuran dan mengosongkan pulau Rempang dari warga penduduk asli Melayu Tua. Akibat dari kejadian ini maka terjadi bentrok secara berturut turut Kamis 7/9/2023 di pulau Rempang dan Senin 11/9/2023 di kantor Badan Perusahaan Batam (BP Batam) dengan berbagai korban masyarakat pengunjuk rasa maupun pelajar yang terdampak karena gas air mata dari polisi.
Berbagai diskursus pandangan mengemuka atas kejadian ini sesuai kepentingannya. Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Kepulauan Riau maupun Pusat atas nama hukum akan mengamankan kebijakan yang telah diambil dengan segala resikonya dengan Payung hukumnya baru disahkan pada 28 Agustus 2023 melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 dengan nama Rempang Eco-city merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) .
Sementara sisi investasi bisnis, Kawasan Rempang ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080, akan dibangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun. Berdasarkan situs BP Batam, proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.
Pendekatan Ham dalam Pembangunan ekonomi
Berdasarkan berbagai dampak negatif dengan munculnya konplik dari kebijakan pemrintah maupun perusahaan maupun pemerintah dengan PSN, maka saatnya sekarang untuk melakukan Pembangunan Ekonomi harus menggunakan pendekatan HAM.
Menjadi perhatian pemerintah dan pelaku investasi agar pengarusutamaan hak asasi manusia ke dalam kebijakan pembangunan seharusnya menjadi prioritas utama saat ini. Implikasinya, kebijakan pembangunan nasional, perdagangan internasional, investasi dan keuangan serta perjanjian antar pemerintah lainnya haruslah berdimensi HAM. Menjadi ironi karena pembangunan dengan pendekatan HAM lebih sering dipandang sebagai hambatan dalam kebijakan pembangunan khususnya ekonomi ketimbang alat untuk meningkatkan kualitas pembangunan. Selain itu, HAM biasanya dilihat sebagai tanggung jawab organisasi non-pemerintah (LSM) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) semata daripada Pemerintah. Padahal Nomenklatur Kementerian yang mengurus Hak Asasi Manusia ada yakni Kementerian Hukum dan HAM dengan didukung 1 (satu) unit Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia .
Dalam perspektif HAM, pembangunan, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Deklarasi PBB Tahun 1986 tentang Hak atas Pembangunan, dimaknai sebagai sebuah proses ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang komprehensif, bertujuan pada peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan bagi semua individu maupun seluruh masyarakat atas dasar partisipasi aktif, bebas dan bermakna dalam pembangunan termasuk memperoleh pemerataan.
Paradigna peng-arusutamaan HAM dalam ruang sosial ekonomi pembangunan selama ini masih dianggap tema yang kontroversial dan sekunder bagi pegiat HAM maupun praktisi pembangunan. Pegiat HAM dan praktisi pembangunan telah terjebak dan terisolasi dalam wilayah kerja masing-masing. Akibatnya, perdebatan seputar HAM didominasi oleh pakar hukum dan pengacara. Sebaliknya, kebijakan pembangunan menjadi domain para ekonom.
Konsekuensinya, HAM tidak benar benar menjadi pusat perhatian dalam pembuatan kebijakan pembangunan. Bersamaan dengan itu, pembangunan ekonomi hanya dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi dan kemampuan untuk menyerap dan membuka lapangan kerja yang sebanyak banyaknya . Pembangunan hanya sebagai proses yang mekanis dan simplistis tanpa perlu melihat aspek penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Padahal, HAM merupakan tanggung jawab pertama (first state responsibility of Government) sebagaimana dinyatakan dalam Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina Bagian I butir 1 pada tahun 1993.
Dalam perspektif HAM, pembangunan, sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan Deklarasi PBB Tahun 1986 tentang Hak atas Pembangunan, dimaknai sebagai sebuah proses ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang komprehensif, bertujuan pada peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan bagi semua individu maupun seluruh masyarakat atas dasar partisipasi aktif, bebas dan bermakna dalam pembangunan termasuk memperoleh pemerataan manfaat atau hasil dari proses tersebut.
Para pendiri bangsa menolak perbuatan apa pun yang melanggar peri kemanusiaan dan peri keadilan sebagiagaimana dalam Pembukaan UUD 45. Semangat itu kembali dipertegas di masa reformasi lewat Pasal 28E UUD 1945 hasil amendemen, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menentukan di mana ia tinggal, ingin meninggalkan tempatnya, dan berhak untuk kembali lagi. Dipertegas pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat, dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kalau begitu, menjadi pertanyaan besar jika pemerintah melaksanakan pembangunan dengan mengorbankan rakyatnya seperti kasus Wadas dan Pulau Rempang. Apa bedanya kelakuan seperti itu dengan praktik penjajahan kolonial semasa menjajah Indonesia?
Karena itu, pertanyaan tentang relasi antara pembangunan ekonomi dan HAM bukan pada bagaimana memisahkan dari keduanya, melainkan bagaimana para pelaku pembangunan menerima kenyataan bahwa pembangunan ekonomi harus dilihat sebagai bagian dari HAM.
Prisma Instrument mengukur Bisnis Hubungannya dengan HAM
Salah satu alat instrument yang mulai digagas untuk digunakan dalam mengukur seberapa besar
Hubungan antara korelasi Bisnis dan HAM adalah Prisma“Penilaian Risiko Bisnis dan Hak Asasi Manusia” berbasis website telah diluncurkan Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 23 Februari 2021. PRISMA adalah suatu program aplikatif mandiri yang diperuntukan untuk membantu perusahaan dalam menganalisa resiko pelanggaran HAM yang disebabkan oleh kegiatan bisnis.
Dirjen HAM Kemenkumham Dhana Putera menyampaikan dalam beberapa pertemuan, bahwa pendekatan HAM dalam proses Bisnis, saat ini regulasi yang mengatur hubungan Bisnis dan HAM dalam pengajuan untuk menjadi Peraturan Presiden (Perpres) dengan target tahun 2023 bisa ditandatangani oleh presiden. Sehingga ke depan regulasi ini akan menjadi panduan yang mendorong para pelaku bisnis untuk menerapkan berbagai indikator HAM dalam proses bisnisnya.
PRISMA merupakan suatu program aplikatif mandiri yang diperuntukan bagi perusahaan untuk menganalisa risiko pelanggaran HAM yang disebabkan oleh kegiatan bisnis. Aplikasi ini memfasilitasi semua perusahaan di semua sektor bisnis baik besar maupun kecil untuk menilai dirinya sendirinya (self assesment) dengan memetakan kondisi riil atas dampak potensial atau risiko HAM.
Kita berharap dengan pembangunan ekonomi pendekatan HAM serta dengan akan ditetapkannya Bisnis dan HAM menjadi Peraturan Presiden, maka berbagai konflik yang terjadi di tengah masyarakat tidak lagi terjadi. Bahwa pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi tidak harus mengorbankan kepentingan rakyat dan Hak Asasi Manusia. Jadikan masyarakat sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Hakikat pembangunan ialah menyejahterakan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat. Hakekat pembangunan menurut Islam sesungguhnya perubahan menuju lebih baik, bukan tetap atau kemunduruan melalui dampak atas masalah yang ditimbulkan dengan berbagai pelanggaran hak hak masyarakat maupun kerusakan lingkungan.
Sebagaimana dalam Alqur’an berbunyi “Hari ini lebih baik dari hari sebelumnya”.(Walal akhiratu khairullaka minal ula, QS: 93: 4). Pengertian tersebut menempatkan pembangunan dalam posisi yang dinamis, tidak stagnan dan selalu berubah menuju lebih baik karena sesungguhnya perubahan itu adalah suatu keniscayaan .
(*/Fhat)