
Reportikaindonesia.com // Tana Toraja, Sulawesi Selatan – Riuhnya pemberitaan media tentang peristiwa yang terjadi soal seorang tukang ojek berinisial ST (21) warga Rumbe, Kelurahan Manggau, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja atas perbuatannya yang telah melakukan tindak asusila terhadap 3 orang anak di bawah umur beberapa bulan yang lalu, Selasa (5/9/2023).
Peristiwa ini memberi banyak informasi kepada masyarkat luas. Namun di sisi lain, volume pemberitaan melalui media massa yang begitu deras dan masif seringkali tidak dibarengi dengan akurasi data dan terkadang hanya menonjolkan bumbu sensasionalnya saja.
Hal tersebut mengemuka dalam helatan diskusi Santai YESMa (Yayasan Eran Sangbure Mayang) yang diadakan pada Senin (06/11/2023) di kafe buli -buli Pantan Makale Tana Toraja.
Diskusi santai bertajuk Perempuan dan Anak Rentan Mengalami Kekerasan Seksual.
Belajar dari Kasus Asusila 3 orang anak dibawah umur yang dilakukan warga Rumbe, Kelurahan Manggau, Kecamatan Makale, Kabupaten Tana Toraja.
Membuka diskusi Lenynda Tondok dengan menyebutkan bahwa kasus Asusila terhadap 3 anak dibawah umur bisa menjadi refleksi tentang bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap remaja dan anak yang mengalami kekerasan seksual serta bagaimana media seharusnya melakukan pemberitaan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual.
“Kasus ini mungkin hanya salah satu yang muncul ke permukaan, Yang perlu kita perhatikan juga adalah bahwa tidak menutup kemungkinan ada banyak kasus-kasus semacam ini yang tidak terlihat.” Ucap Lenynda.
“Apalagi perempuan dan anak memang rentan terhadap kekerasan, terutama kekerasan seksual.” Tambah Program Officer YESMa, Lenynda.

” Kalau merunut statement Kepala bidang Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DP3A) ada 40 kasus kekerasan terhadap anak selama tujuh bulan terakhir ini (januari – juli) dan terutama kekerasan seksual, hal ini jelas tidak main-main dan bisa disebut lampu merah. Jadi harus ada langkah serius, untuk mengantisipasi agar kekerasan terhadap anak bisa dihilangkan dari kabupaten Tana Toraja ” tegas Emilia, Senin (06/11/2023) sore.
Sementara Senior Jurnalis, Fred Susilisu menyampaikan Pemda perlu menjalin kerjasama yang intensif dengan kalangan LSM bidang HAM ( hak asasi manusia ) serta mengefektifkan peran PKK di dalam pembinaan keluarga, gerakan gencar sosialisasi cinta anak, dan juga terjunnya banyak tokoh agama di tingkat kelurahan, akan mampu mencegah dan sekaligus mengeliminasi niat jahat orang tua terhadap anak.
Dia paparkan, dengan berbagai upaya dan aksi di lapangan, serta jalinan koordinasi dengan aparat hukum Polri,diyakini kasus-kasus kekerasan terhadap anak, dapat dikikis secara perlahan tetapi pasti.
” Apalagi Perda Perlindungan Anak juga menyertakan sanksi. Jadi meski ada suara dari kalangan aktivis sayang anak, bahwa Perda kurang berdaya, bisa ditutupi dengan langkah pendampingan langsung di lapangan,” Tutur Bang Fred.
Sebelumnya Program Officer Yayasan Eran Sangbure Mayang (YESMa) menyatakan keprihatinannya, bahwa dari awal tahun 2023 sampai akhir Juli dia menerima 40 laporan tindak kekerasan terhadap anak, di antaranya terkait kekerasan seksualitas.

Yang membuat YESMa sangat kaget bahwa kasus tersebut lebih banyak menerpa keluarga kurang mampu.
” Dari 98% di antara kasus kekerasan terhadap anak terjadi pada warga Tana Toraja dengan kategori kurang mampu,” tukasnya.
Lenynda menyimpulkan, kini anak semakin menjadi ajang pemotongan mental di usia dini. Keberadaan Perda Perlindungan anak pun dinilai tidak aplikatif. Ia hanya menegaskan, kasus kekerasan bisa dieliminir, jika solusi yang pas dilaksanakan di lapangan.
Di antara solusi mencegah kekerasan terhadap anak, menurut Lenynda, pada setiap penyusunan program pembangunan melalui musyawarah perencanaan di tingkat kelurahan, kecamatan sampai kabupaten, anak patut dilibatkan. ” Kehadiran anak dalam pembahasan program tentang anak, sebaiknya anak bisa dihadirkan, sehingga tahu tentang apa yang diharapkan anak,” katanya.
( Sal )