
Reportikaindonesia.com // Kota Tasikmalaya, Jawa Barat – Klarifikasi Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat melalui UPTD Wilayah Pelayanan V terkait proyek rekonstruksi Jalan Brigjen Wasitakusumah senilai Rp 16,4 miliar yang dimenangkan tender proyeknya Oleh PT. TIARA MULYA SEJAHTERA, menuai kritik tajam. Surat jawaban tertanggal 4 September 2025 itu dinilai tidak menjawab substansi pertanyaan publik dan hanya berputar pada alasan normatif.
Sebelumnya, Balai Pewarta Nasional (BPN) melalui surat resmi meminta penjelasan terkait dugaan proyek jalan dan drainase yang tidak mengacu pada Rencana Induk Sistem Drainase (RISD) sebagaimana diwajibkan Permen PUPR No. 12/2014 Pasal 7 ayat (4) dan (6).
Namun, dalam surat klarifikasinya, UPTD Wilayah V justru menekankan proyek tersebut bagian dari program prioritas RPJMD Jawa Barat, tanpa menjawab apakah benar dokumen perencanaan mengacu pada RISD atau tidak.
Pertanyaan krusial yang dilontarkan BPN mulai dari dasar teknis, integrasi drainase, hingga akuntabilitas keuangan tidak disentuh sama sekali. Yang muncul hanyalah rangkaian regulasi umum dan justifikasi program prioritas.
“Kami tidak butuh jawaban normatif. Kami menuntut jawaban teknis: apakah proyek ini sesuai RISD atau tidak. Kalau tidak, ini jelas cacat prosedur dan berpotensi merugikan keuangan negara,” tegas Ketua BPN.
Tim Advokasi Hukum BPN, Endra Rusnendar, SH, kepada media ini jumat (12/09) menyampaikan, sikap Dinas PUPR ini berbahaya.
“Proyek infrastruktur tanpa landasan RISD berarti menabrak aturan hukum. Procedure is the heart of the law. Jika prosedur dilanggar, seluruh pekerjaan bisa dipersoalkan, bahkan berimplikasi pada kerugian negara. Klarifikasi yang kabur ini memperkuat dugaan bahwa ada masalah serius dalam perencanaan,” ujarnya.
Endra menegaskan, jika Dinas PUPR tetap menutup data teknis, pihaknya siap membawa persoalan ini ke ranah hukum, termasuk ke BPK dan aparat penegak hukum.
Minimnya transparansi justru memperdalam kecurigaan publik. Proyek bernilai miliaran rupiah yang dibiayai uang rakyat tidak boleh hanya dijawab dengan “narasi birokratis”.
Keterbukaan informasi publik adalah amanat UU No. 14/2008. Jika pemerintah menutup data teknis, maka hal itu dapat dianggap sebagai pelanggaran hak masyarakat untuk tahu.
BPN menegaskan, kasus ini bukan sekadar soal proyek fisik, melainkan soal tata kelola keuangan daerah dan integritas birokrasi.
“Kami akan terus kawal. Jika dalam 14 hari ke depan PUPR Wilayah V tidak bisa membuka dokumen teknis yang diminta, kami akan dorong audit investigatif. Publik berhak tahu kebenaran di balik proyek Rp 16,4 miliar ini,” pungkas Ketua BPN.
Klarifikasi yang tidak menjawab substansi justru memperkuat dugaan adanya kejanggalan. Transparansi adalah kunci. Proyek infrastruktur bernilai miliaran rupiah tidak boleh berjalan di atas prosedur yang dilanggar.
(RI-015)