
Reportikaindonesia.com // Bandung, Jawa Barat – Pada Selasa (08/10), bertempat di éL Hotel Royale Bandung, Jalan Merdeka No. 2, Braga, Kecamatan Sumur Bandung, berlangsung kegiatan bertajuk “Penguatan Pendidikan Karakter ASN dalam Budaya Birokrasi Berbasis HAM” yang diselenggarakan oleh Deputi Bidang Koordinasi Hak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko KumHAM IMIPAS).
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai unsur, termasuk perwakilan dari Kementerian Hak Asasi Manusia (Kemenham), Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, pejabat pemerintah daerah, serta akademisi yang memiliki perhatian terhadap penguatan nilai kemanusiaan dan karakter dalam birokrasi pemerintahan.
Acara menghadirkan Prof. Karim Suryadi, akademisi dan pakar komunikasi politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yang memimpin jalannya diskusi dengan pendekatan reflektif dan kritis. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya membangun budaya birokrasi yang berkarakter, berlandaskan nilai kemanusiaan, serta berorientasi pada etika pelayanan publik. Menurutnya, ASN bukan sekadar pelaksana teknis kebijakan, tetapi juga penjaga moralitas dalam sistem pemerintahan.
“Karakter ASN sejati tidak berhenti pada kepatuhan terhadap aturan, tetapi berlanjut pada kesadaran untuk berbuat adil, berempati, dan melayani tanpa pamrih,” ujar Prof. Karim.
Sebelum memasuki sesi tanya jawab, Prof. Karim sempat mengajak peserta merefleksikan nilai-nilai moral melalui karya sastra. Ia menyinggung novel Animal Farm karya George Orwell, yang menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat menyimpang ketika nilai moral dan kemanusiaan ditinggalkan.
Saat menanyakan apakah ada peserta yang pernah membaca novel tersebut, Damar Kumoro, mahasiswa magang dari Kanwil Kemenham Jawa Barat sekaligus Deputi Pengembangan Organisasi Komunitas Pemuda Pelajar Pencinta HAM Jawa Barat (KOPPETA HAM Jabar) mengangkat tangan dan berbagi secara singkat mengenai pesan moral yang ia tangkap dari cerita tersebut. Momen itu disambut tawa ringan dan mencairkan suasana sebelum diskusi berlanjut ke sesi tanya jawab.
Selanjutnya, Petrus Polus Jadu, Kepala Bidang Instrumen dan Penguatan HAM Kanwil Kemenkumham Jawa Barat, membuka sesi tanya jawab dengan menyoroti pentingnya internalisasi nilai HAM yang benar-benar melekat pada perilaku ASN, bukan sekadar formalitas pelatihan. Candra Kushendar dari Kanwil Ditjenpas Jawa Barat kemudian mengangkat persoalan konflik keagamaan dan menanyakan efektivitas SKB Tiga Menteri dalam menjaga toleransi antarumat beragama.
Dalam kesempatan berikutnya, Hasbullah dari Kanwil Kemenham Jawa Barat menyampaikan pandangan tentang pentingnya keseimbangan antara pendekatan legalistik dan kultural dalam kebijakan publik. Ia juga menyoroti stigma Jawa Barat sebagai daerah intoleran yang menurutnya sering kali disebabkan oleh faktor sosial ekonomi, bukan semata perbedaan agama.
Menanggapi berbagai pandangan tersebut, Prof. Karim menjelaskan bahwa toleransi sejati tidak sekadar berarti saling menghormati, tetapi juga tidak saling mengintervensi. Ia menegaskan bahwa keadilan yang ideal adalah yang mampu menyembuhkan luka sosial, bukan menambah luka baru melalui penerapan aturan yang kaku.
“Tidak semua konflik bersumber dari perbedaan keyakinan. Sebagian besar justru berasal dari ketimpangan sosial dan komunikasi publik yang kurang baik,” jelas Prof. Karim.
Sebagai penutup, Prof. Karim menegaskan pentingnya komunikasi publik yang jujur dan bernarasi.
“Tidak semua kebajikan bisa dibenarkan di atas kertas birokrasi, tetapi setiap tindakan baik perlu diceritakan dengan konteks agar tidak disalahpahami,” tuturnya.
Ia menutup dengan pesan bahwa semangat perubahan harus selalu disertai keteladanan dan kejelasan makna agar nilai-nilai HAM serta karakter ASN tidak berhenti pada wacana, melainkan menjadi praktik nyata dalam pelayanan publik yang manusiawi dan bermartabat.
• Red