Reportikaindonesia.com // Kota Tasikmalaya, Jawa Barat – 16 Oktober 2025. Kasus sengketa tanah seluas lebih dari 1.000 m² yang kini berdiri bangunan SDN 3 Cibunigeulis, Kecamatan Bungursari, Kota Tasikmalaya, semakin memicu pertanyaan publik atas komitmen pemerintah daerah dalam tata kelola aset dan perlindungan hak milik warga. Ahli waris almarhum Kunjan Syarif melalui kuasa hukum non-litigasi menduga ada penyerobotan aset tanpa proses hukum yang transparan.
Ahli waris mengklaim bahwa tanah tersebut milik keluarga berdasarkan penguasaan turun-temurun dan bukti sejarah kepemilikan.
Pemerintah Kota Tasikmalaya diduga telah mencatat tanah itu sebagai aset daerah tanpa memberitahukan dasar legalitas maupun memberikan tanggapan terhadap permohonan klarifikasi.
Sejak lebih dari satu bulan lalu, kuasa hukum terlibat telah mengirim surat resmi kepada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Tasikmalaya, namun tidak ada respons formal yang diterima hingga saat ini.
Menyusul sikap diam pemerintah daerah, pihak kuasa hukum telah menyerahkan dokumen kasus ke Kejaksaan Agung agar dilakukan penyelidikan independent dan memastikan pertanggungjawaban hukum.
Kasus ini tidak sekadar persoalan sengketa pertanahan melainkan refleksi dari sejumlah kelemahan regulasi dan praktik pemerintah daerah:
1. Kepastian Hukum Aset Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, setiap pengakuan aset daerah harus melalui proses administratif yang transparan, termasuk verifikasi alas hak, sertifikasi bila memungkinkan, dan pengumuman publik.
Jika Pemkot Tasikmalaya benar mencatat tanah milik warga sebagai aset daerah tanpa proses tersebut, maka ini melanggar prinsip legalitas dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset publik.
2. Hak Milik dan Perlindungan Ahli Waris. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan peraturan pertanahan (termasuk UU Agraria No. 5 Tahun 1960), perlindungan hak milik harus menjamin bahwa pengakuan kepemilikan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Tanah yang telah berada dalam penguasaan turun-temurun, didukung bukti administrasi dan riwayat historis, seharusnya mendapat perlakuan hukum yang adil.
3. Prosedur Penyelesaian Sengketa Tanah Jika terdapat keberatan atau klaim berdasarkan hak milik, pemerintah harus membuka ruang litigasi atau non-litigasi yang benar, termasuk mediasi atau penyelesaian melalui pengadilan pertanahan, bukan langsung mencatat sebagai aset daerah tanpa proses klarifikasi kepada pemilik sah.
4. Kewajiban Publikasi dan Transparansi Pemerintah daerah wajib memberikan salinan dokumen alas hak, hasil verifikasi, serta membuka akses publik agar masyarakat termasuk pihak yang merasa dirugikan mengetahui dasar hukum pengakuan aset daerah. Ketiadaan respon atau klarifikasi kepada kuasa hukum ahli waris menegaskan lemahnya praktik transparansi di tingkat lokal.
Endra Rusnendar SH, Kuasa hukum non-litigasi ahli waris, melalui YLBH Merah Putih Tasikmalaya, kepada reportikaindonesia.com menyampaika :
Pemkot Tasikmalaya membuka semua dokumen alas hak tanah SDN 3 Cibunigeulis dan menjelaskan secara terbuka dasar pencatatan sebagai aset daerah.
BPKAD dan instansi terkait melakukan audit internal dan klarifikasi legal, termasuk verifikasi historis dan administratif atas kepemilikan.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Gubernur Dedi Mulyadi turut memantau dan memberi arahan penyelesaian agar kasus ini tidak menjadi preseden buruk di wilayah lain.
Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti laporan agar ada penyelidikan objektif serta, bila ditemukan unsur pidana, tindak lanjut hukum terhadap pejabat yang bertanggung jawab.
Jika terbukti bahwa tanah itu milik ahli waris, maka Pemkot harus mengembalikan statusnya dan memberikan ganti rugi bila ada kerusakan atau pemanfaatan aset tanpa persetujuan.
Meskipun media telah memberitakan sengketa ini, belum ada tindakan konkret yang terlihat dari pemerintah daerah. Keengganan menjawab surat resmi dan transparansi menjadi indikasi bahwa pengelolaan aset publik di Tasikmalaya masih jauh dari kata akuntabel.
Kasus ini menjadi ujian serius: apakah Pemerintah Kota dan aparat hukum di daerah sanggup menegakkan regulasi dan melindungi hak rakyat kecil, atau justru memilih diam dan melindungi kepentingan birokrasi?
(RI-015)


