
Reportikaindonesia.com // Bandung, Jawa Barat – Kepala Kantor Wilayah Kementrian HAM (Kemenham) Jawa Barat, Hasbullah Fudail, mengungkapkan bahwa wacana pengaturan hak seksual bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP), khususnya terkait hubungan suami istri, tengah menjadi perhatian serius.
Dalam diskusi terbuka yang menghadirkan berbagai elemen, termasuk akademisi, mantan warga binaan, dan petugas pemasyarakatan, juga beberapa pimred media isu ini mengemuka sebagai kebutuhan yang bersifat manusiawi dan naluriah. Hasbullah menyebut bahwa mayoritas masukan menginginkan adanya regulasi resmi yang mengatur pemenuhan kebutuhan biologis warga binaan secara legal dan bermartabat.
“Kebutuhan seksual dalam hubungan suami istri itu adalah naluri manusia. Rata-rata dari publik dan warga binaan yang kami temui menginginkan adanya aturan yang jelas. Saat ini belum ada regulasi yang mengatur, dan tidak ada pula yang melarang secara eksplisit,” ujar Hasbullah dalam keterangannya, Jumat, 8 Agustus 2025.
Diskusi tersebut diperkuat oleh paparan hasil riset dari akademisi dr. Tika, yang menyebutkan bahwa hampir 50% warga binaan mengalami tekanan seksual yang berdampak pada kondisi psikologis dan stabilitas di dalam lapas.
Hasbullah juga menegaskan bahwa dua mantan narapidana yang dihadirkan dalam forum turut mengungkapkan dampak positif dan negatif dari ketiadaan fasilitas hak seksual selama menjalani hukuman. Menurutnya, data dan kesaksian ini tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Ini bukan hanya sekadar opini. Ada data ilmiah yang harus jadi pertimbangan. Bahkan beberapa UPT Lapas di Jawa Barat sudah menyatakan siap jika akan dijadikan sebagai pilot project, seperti di Lapas Sukamiskin,” tambahnya.
Hasbullah mengungkapkan bahwa Lapas Sukamiskin dinilai paling siap dari segi fasilitas, pengelolaan SDM, dan keamanan untuk menjadi proyek percontohan dalam penerapan hak suami istri bagi warga binaan. Namun, ia menekankan bahwa wacana ini masih dalam tahap awal dan belum sampai pada persetujuan akhir dari Menteri HAM.
“Pak Menteri belum memberikan restu secara khusus untuk Lapas Sukamiskin, tapi beliau mendorong kami untuk melakukan kajian mendalam. Ini penting agar kebijakan yang diambil nanti berbasis data dan kebutuhan nyata di lapangan,” jelas Hasbullah.
Meski mayoritas mendukung, wacana ini juga menuai kekhawatiran dari sejumlah petugas pemasyarakatan terkait risiko keamanan dan potensi penyalahgunaan fasilitas. Namun, Hasbullah menilai perbedaan pendapat ini adalah hal wajar dalam proses perumusan kebijakan publik.
“Kita tidak bisa menutup mata terhadap realitas. Namun, semua harus dilakukan dengan pola bertahap dan pengawasan ketat. Misalnya, melalui fasilitas khusus dengan standar tertentu,” tegasnya.
Ia juga menyinggung bahwa jangan sampai isu ini dianggap sebagai fasilitas eksklusif bagi narapidana korupsi atau kelompok tertentu saja. Menurutnya, hak asasi manusia (HAM) adalah milik semua warga binaan, tanpa memandang latar belakang hukum atau status ekonomi.
Diskusi ini merupakan bagian dari agenda strategis Kemenham Jawa Barat untuk menggali isu-isu HAM di lingkungan pemasyarakatan secara menyeluruh. Hasbullah berharap hasil kajian dari berbagai forum ini bisa menjadi bahan pertimbangan Kementerian secara nasional.
“Tujuan utama kami adalah menyusun solusi jangka panjang, tidak hanya wacana. Isu ini sangat kompleks dan menyentuh sisi kemanusiaan. Maka ke depan, kami berharap bisa rutin mengadakan diskusi seperti ini untuk menyerap lebih banyak aspirasi,” pungkasnya.
• Red