Oleh : Hasbullah Fudail.
Reportikaindonesia.com // Bandung, Jawa Barat – Jika mau menyaksikan pertandingan paling menarik dalam pilkada, maka pertandingan dengan probobilitas (peluang) menang kalah 50 berbanding 50 akan terjadi dalam Pilkada Serentak 2024 yaitu pertandingan antara kotak kosong melawan calon tunggal. Hal ini menjadi menarik karena calon pemimpin yang akan dipilih untuk menjadi Gubernut/Bupati/Walikota tidak mempunyai lawan tanding sebagaimana layaknya dalam sebuah pertandingan.
Calon tunggal ini seakan memberi isyarat bahwa di Provinsi, kabupaten dan kota tersebut tidak lagi mempunyai kader pemimpin yang bisa diajak bertanding dalam kompetisi Pilkada serentak tahun 2024, sehingga pilihan masyarakat dalam Pilkada ini sangat terbatas
Seperti yang telah dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, terdapat 37 daerah kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki calon tunggal dalam Pilkada 2024. Itu artinya, para calon tunggal tersebut akan berhadapan dengan kotak kosong saat pemungutan suara.
Melihat kondisi seperti ini dimata publik timbul pertanyaan, mengapa kondisi ini terjadi dan apa impilikasinya jika kotak kosong yang menang dalam Pilkada serentak ini ?.
Fenomena Kotak Kosong Dalam Pilkada Serentak
Munculnya Fenomena kotak kosong melawan calon tunggal kembali menjadi trend dan meningkat secara significant terjadi pada pilkada tahun 2024. Harus diakui bahwa fenomena kotak kosong ini bukan suatu hal yang baru, akan tetapi tetap mengejutkan masyarakat yang memicu perdebatan tentang dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia khususnya dalam Pilkada Serentak ini.
Berdasarkan jejak digital dan sejarah Pilkada, kotak kosong pertama kali muncul pada Pilkada 2015, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan pilkada tetap dilaksanakan meski hanya ada satu pasangan calon, dalam putusan tersebut, MK juga memberikan alternatif bagi pemilih dengan menambahkan kotak kosong sebagai pilihan. Implikasi keputusan MK ini membawa kotak kosong menjadi fenomena yang terus berulang di beberapa Pilkada berikutnya, termasuk pada tahun 2017, 2018, dan 2020.
Dilansir dari data KPU pertanggal 4 September 2024 ada 41 wilayah dengan satu pasangan calon alias akan memiliki lawan kotak kosong. Kondisi ini meningkat hampir 2 kali lipat dibandinkan pilkada tahun 2020 yang hanya berjumlah 25 calon tunggal lawan kotak kosong, Semakin meningkatnya jumlah kotak kosong dalam pilkada bisa menjadi sinyal adanya Simbolisasi Perlawanan rakyat terhadap kewenangan monopoli partai politik dalam penentuan calon Gubernur/ Bupati/Walikota dalam pilkada.
Rakyat tidak banyak diberi pilihan untuk memberikan alternatif calon pemimpin dengan tingginya syarat partai maupun individu dalam mendorong munculnya beberapa alternatif calon pemimpin . Selain itu kolaborasi dari semua partai politik dengan hanya mendorong calon tunggal dengan tidak memberi peluang calon lain untuk diusung dalam pilkada.
Munculnya calon tunggal buga memberikan indikasi bahwa partai politik mengalami kegagalan Pendidikan politik untuk menyiapkan kader terbaiknya dalam berkompetisi di daerah untuk maju sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota.
Selain itu gejala meningkatnya calon tunggal akan menggiring kepemimpinan di daerah seperti menuju Monarki atau kerajaan. Jika hanya ada calon tunggal maka juga bisa diartikan masyarakat secara tidak langsung sudah mengakui sistem monarki dan tidak perlu lagi adanya pemilihan kepala daerah karena hakekatnya hanya ada satu calon tunggal.
Impilkasi Kotak Kosong Menang di Pilkada, Dengan semakin meningkatnyya jumlah kotak kosong dalam setiap pilkada menjadi peringatan bagi keberlangsungan sistem demokrasi yang dibangun saat ini melalui sistem politik yang secara dominan memberi akses terbesar kepada partai politik . Ini menjadi alarm sistem politik yang mengebiri hak hak warga negara untuk memunculkan calon pemimpin alternatif diluar yang diusung oleh partai politik.
Apa implikasi jika kotak kosong yang menang Pilkada 2024? Apabila kotak kosong menang dalam Pilkada ini , maka ada beberapa implikasi terhadap sistem pemerintahan dan lainnya diantaranya :
1.Kekosongan Pejabat Bupati/Walikota, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Jika calon tunggal kalah, itu artinya kotak kosong memenangkan Pilkada. Jika wilayah masih mengalami kekosongan kepemimpinan karena kotak kosong Pilkada, maka pemerintah akan menunjuk penjabat (Pj) gubernur, bupati atau wali kota untuk memimpin sementara wilayah sampai terpilihnya kepala daerah definitif hasil Pilkada.Dalam pasal 54D ayat (4) “Dalam hal belum ada pasangan calon terpilih terhadap hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah menugaskan penjabat Gubernur, penjabat Bupati, atau penjabat Walikota”.
- Pilkada Ulang Tahun berikutnya
Sebagaimana kesepakatan antara Komisi II DPR RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersepakat untuk menggelar Pilkada kembali 2025 jika pilkada suatu daerah dimenangkan kotak kosong.
Kesepakatan bersama KPU, Kemendagri, Bawaslu, dan DKPP. “Secara bersama menyetujui Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016,” ujar Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Selasa (10/9/2024) . - Demokrasi Biaya Mahal
Bisa dibayangkan jika tahun 2025 daerah yang kotak kosong menang maka pilkada kembali dilakukan, betapa banyak energi yang harus terbuang dan tidak memberi dampak yang baik terhadap keberlangsungan pembangunan di daerah. Hampir dalam 5 tahun terakhir energi kita ditujukan dalam pemilihan : Presiden , DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati, Walikota termasuk pelihan RW dan RT. Semua proses pemilihan tersebut membutuhkan anggaran yang tidak sedikit sementara tidak memberi dampak langsung untuk pertumbuham ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya sektor riel.
Pada akhirnya jika kotak kosong menjadi pemenang dalam Pilkada serentak ini, maka akan semakin yakin kita bahwa pemilih kotak kosong melakukan pembankangan demokrasi yang ada selama ini akibat penentuan calon pemimpin daerah dimonopoli partai politik dengan berbagai modusnya.
• Red